Sabtu, 20 Juli 2013

Banlieue, Qu'est-ce que c'est?


Salut!

Sudah tahu kan bahwa tahun ini, Festi France kembali hadir dengan tema La Culture Qui Vient de Banlieue dan mengangkat seputar cerita dan sketsa dari daerah pinggiran Prancis? Bila mendengar kata "pinggiran", pikiran kalian pasti akan langsung melayang pada sebuah daerah yang kumuh, dengan tingkat kejahatan tinggi dan keruwetan kota yang lebih menyebalkan dibanding Jakarta pada Jumat sore.

Seperti yang telah disinggung dalam artikel sebelumnya, banlieue bukanlah sekedar cerita mengenai diskriminasi dan sisi gelap negara Prancis. Nah, artikel singkat ini akan menjelaskan mengenai apa itu banlieue dan serba-serbi dari banlieue itu sendiri. Percayalah, bila dilihat dari sisi yang berbeda, banlieue juga tak kalah  cerita dibanding La Ville Lumiere :').

Pada abad ke-19, Prancis menerima kedatangan imigran secara besar-besaran, akibat perkembangan industri. Pasca PD II, Prancis mencoba memulihkan diri dan kembali menerima gelombang besar imigran, terutama dari Afrika. Pada saat itu pula Prancis mulai mengalami masa kejayaan  selama 30 tahun, yang biasa disebut Les Trente Glorieuses.




Lama kelamaan, imigran menjadi sebuah masalah yang cukup pelik bagi pemerintah, terlebih dengan adanya krisis minyak tahun 1974. Pemecatan pekerja terjadi di banyak tempat, dan tentunya para imigran, yang sebagian besar adalah tenaga kerja tak terdidik, yang menjadi korban. Presiden Prancis kala itu, Valery Giscard membatasi jumlah imigran yang ada, sehingga pada tahun-tahun tersebut, jumlah imigran yang masuk di Prancis tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, kebanyakan imigran merupakan keluarga dari imigran yang telah tinggal di Prancis sebelumnya (regroupement familial)




Kota-kota besar yang sudah dipadati penduduk tak mampu lagi menampung imigranyang terus bertambah. Pemerintah pun berinisiatif untuk membuat pemukiman penduduk di pinggiran kota, yang lebih murah dibandingkan pemukiman di tengah kota. Para imigran yang tak memiliki pendapatan besar tentunya memilih untuk tinggal di sana. Disinilah dimulai beberapa masalah terkait dengan daerah pinggiran kota di Prancis (bidonville, daerah kumuh), seperti masalah kriminal dan kenakalan remaja yang berakar dari permasalahan ekonomi, juga masalah sanitasi dan kebersihan.

Permasalahan pemukiman ini pun cukup menyita pikiran pemerintah di Prancis, sehingga mereka memutuskan untuk mendirikan HVS (Habitat et Vie Sociale) pada tahun 1973, yang melahirkan sebuah hasil yang bernama HLM (Habitation à loyer modére), yakni hunian dengan sewa ringan, bebas pajak, dan tentunya dapat dicicil.

Ternyata, hal ini tidak juga menyelesaikan masalahyang terjadi di bidonville. Pada 1976, bidonville dihancurkan, diganti dengan les cites de transit atau kota perpindahan. Usaha pemerintah untuk memperbaiki daerah pinggiran tak hanya berhenti disitu. Pada tahun 1977, pemerintah meluncurkan rencana pembangunan banlieue. Banlieue inilah yang hingga kini identik dengan daerah-daerah pinggiran kota besar Prancis, daerah-daerah yang kebanyakan diisi oleh para imigran (ban: tertinggal, lieu: tempat)




Anak-anak imigran tumbuh besar, kebanyakan merupakan generasi kedua ataupun ketiga yang sedari lahir sudah tinggal di Prancis, dan lebih mengenal diri mereka sebagai orang Prancis. Namun, mereka tetap tidak bisa melepaskan identitas tanah leluhur mereka akibat stereotip dan budaya asal yang masih dipegang para orang tua. Konflik identitas semacam inilah yang kemudian menghasilkan budaya unik di antara mereka, seperti grafiti, musik rap dan rai, serta gaya berbicara dan juga bertingkah laku yang khas. Selain sebagai sarana hiburan dan eksistensi diri, hal tersebut juga digunakan sebagai media untuk bersuara dan menyalurkan aspirasi mereka. Budaya tersebut kemudian dikenal luas oleh masyarakat Prancis, memberikan warna baru dalam dunia multikultural Prancis.


Nah, ingin tahu lebih dekat tentang produk budaya tersebut? Soyez calmes, et n'oubliez pas de venir à FestiFrance 2013!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar