Senin, 22 Juli 2013

La Citation: Pierre Corneille

Sebuah kalimat dalam drama Le Cid, karya Pierre Corneille. Beliau merupakan seorang sastrawan besar di Prancis pada tahun 1636.
Bagaimana? Bagi kalian yang belum move on dari, ehm, mantan kekasih ataupun mengejar cinta seseorang yang tidak kunjung juga memberikan sinyal pada kalian... Bersemangatlah! Jangan sia-siakan diri kalian hanya untuk seseorang. ;)

Musique de La Semaine : Les Autres par Abd Al Malik

 
Salut!
Musique de La Semaine kali ini akan memberikan ulasan lagu Les Autres, yang dinyanyikan oleh Abd El Malik. Tapi, min, saya nggak bisa bahasa Prancis. Saya nggak ngerti Malik ngomong apa sih? Tenang, di bawah akan diberikan penjelasan singkat mengenai isi lagu ini. Belum tahu lagunya? Sila dengarkan di sini.

Abd Al Malik, yang lahir dengan nama Régis Fayette-Mikano adalah seorang penyanyi rap di Prancis. Lahir di Paris, pada 14 Maret 1975, dari orang tua yang berdarah Kongo. Pada tahun 1977 hingga 1981, ia tinggal bersama orang tuanya di Brazzaville, Kongo, sebelum pada akhirnya mereka pindah ke Prancis dan tinggal di sebuah HLM yang terletak di daerah Neuhof, Strasbourg.

Beliau pernah terlibat dalam beberapa masalah kriminal, pasca perceraian orang tuanya yang membuatnya kehilangan sosok Ayah. Ia hidup dalam tekanan  yang cukup berat akibat masalah ekonomi dan keluarga, ditambah dengan lingkungan di banlieue yang cukup kental dengan masalah kriminalitas,. Malik pernah terlibat dalam penjualan obat-obatan terlarang serta pencurian kendaraan.
Semenjak kematian temannya akibat OD, ia memutuskan untuk meninggalkan dunia hitam yang membelenggunya. Malik mencoba menyalurkan keresahannya denggan menulis dan menyanyi. Ia bahkan mampu menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Pada tahun 1988, bersama saudara  dan sepupunya, ia membentuk grup rap bernama N.A.P. Inilah awal karirnya di dunia musik Prancis. Salah satu lagu buatannya, yang bercerita tentang masalah diskriminasi, yakni Les Autres, mampu menembus angka penjualan yang cukup tinggi di Prancis. Berikut ini adalah lirik dari lagu Les Autres:


Les autres, les autres, c'est pas moi c'est les autres....


Moi, moi quand j'étais petit, j'avais mal
c'était l'état de mon esprit, je suis né malade
sur l'echelle de Richter de la misère, malade ça vaut bien 6
quelques degrés en dessous de là où c'est gradué "fou"

J'étais voleur et avant d'aller voler, je priais
je demandais à Dieu de ne pas me faire attrapper
je lui demandais que la pêche soit bonne
qu'à la fin de la journée, le liquide déborde de mes poches
bien souvent, j'ai failli me noyer, j'ai été à sec aussi, souvent....
quand je croisais papa, le matin, aller travailler avec sa 102 bleue
en rentrant, le matin, de soirée, j'me disais "c'est un bonhomme mon vieux"
ensuite, j'me faufilais dans mes couvertures et j'dormais toute la journée
le style "Vampire" dormir la journée et rôder une fois le soleil couché
le genre de prédateur à l'envers, le genre qui à la vue d'un poulet meurt de peur
je ne me suis jamais fait prendre, et si j'avais été pris, aux keufs, j'aurais dit....

J'étais beau-parleur et je souriais aux filles en jean's avec de grosses ceintures
celles qui aiment bien l'odeur que degagent les gars
qui ont la reputation d'être des ordures
le genre à jurer sur la vie de sa mère dès qu'il ouvre la bouche
rêve de BMW pour asseoir à la place du mort celle qui couche
dans mon monde, un mec comme moi, c'est le top
j'aurais été une fille, on m'aurait traité de sal....
quand je croisais ma soeur avec ses copines dans le quartier
moi, qui allait en soirée, j'lui disais "rentre à la baraque !, va faire à bouffer !"
ensuite, j'allais rejoindre mes copines, celles qui me faisaient bien délirer
celles qui, comme moi, avaient un pére, une mère
peut-être bien des frères et soeurs qui sait.....
mais moi, du genre beau parleur à l'endroit, sans foi ni loi
mais c'était pas moi le chien, mais....

Et puis du jour au lendemain, j'ai viré prêcheur
promettant des flammes aux pêcheurs et des femmes aux bons adorateurs
comme si Dieu avait besoin de ça pour mériter qu'on l'aime
mais moi, moi pour que les autres m'aiment, moi
moi, j'en ai dit des choses pas belles et j'en ai acceptées aussi
on m'a dit "t'es noir, tu veux te marier avec elle, mais t'es noir...."
les autres y disaient comme ça, qu'elle était trop bien pour moi
donc moi, moi j'faisais de la peine à voir
moi, j'continuais ma parodie, mon escroquerie spirituelle
sauf que, j'me carottais moi-même, j'étais devenu un mensonge sur pattes
qui saoule grave et qui sait même pas ce qu'il dit
qui voit même pas que c'est un malade et qui dit comme ça
tout le dit y dit comme ça....

Et je vous dis monsieur, je vous dis monsieur,
quand je pense à tout ça, je pleure



Lagu ini bercerita tentang seorang lelaki berkulit hitam yang tinggal di Prancis, yang merepresentasikan Malik dan juga lelaki berkulit hitam lainnya. Mereka mengalami krisis identitas, dan juga terbelit dalam masalah kriminalitas akibat kemiskinan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa orang-orang kulit hitam di Prancis identik dengan buruh, pelaku kriminal.
Mereka juga mengalami masalah diskriminasi seperti yang terdapat pada potongan kalimat ini: t'es noir, tu veux te marier avec elle, mais t'es noir.... (Anda berkulit hitam, Anda sangat ingin menikah dengan gadis itu, tetapi ingatlah, Anda berkulit hitam...), yang menunjukkan betapa orang berkulit hitam berada pada kasta yang rendah di Prancis dan kurang dihargai.


Hal yang  cukup menarik dan kontradiktif dalam lirik ini terdapat dalam kalimat, J'étais voleur et avant d'aller voler, je priais, je demandais à Dieu de ne pas me faire attrapper. (Saya adalah seorang pencuri, dan sebelum pergi untuk mencuri, saya memohon kepada Tuhan, agar jangan sampai saya tertangkap)
Kita semua tentunya tahu bahwa mencuri adalah perbuatan yang dilarang dengan agama. Tetapi, tokoh "aku" seakan tidak punya pilihan lain kecuali memohon kepada Tuhan, agar ia tidak tertangkap. Ia masih percaya bahwa Tuhan akan melindunginya dari hal-hal yang tidak diinginkannya. Ia mencuri karena ia tidak punya uang, untuk bertahan hidup.



Jadi bagaimana, teman-teman? Lagu yang cukup menarik bukan? Tidak hanya sebuah lagu rap yang bisa menjadi penghibur, tetapi juga sebuah renungan tentang betapa hidup penuh dengan dilema dan dengan permasalahan. Terutama, ketika kita tidak punya cukup uang untuk hidup layak dan dianggap sebagai "orang lain", bahkan di tempat yang kita anggap rumah. :)

Rap: Ketika Musik Bukan Sekedar Media Hiburan

Salut! Tahukah teman-teman, apa sih sebenarnya rap itu?

Rap. Genre tersebut pasti sudah tidak asing lagi bagi kalian. Umumnya, kita lebih banyak mengenal musisi rap dari AS daripada Prancis. Padahal, musisi-musisi rap dari Prancis juga tidak kalah keren, loh! Sebut saja Abd El Malik, Diam’s, Sinik, dan Rohff.

Musik rap sebenarnya merupakan musik yang berasal dari AS, berakar dari hip hop Amerika. Keadaan sosial dan budaya masyarakat banlieue membuat musik rap Prancis memiliki ciri khasnya sendiri, yang membedakannya dari rap ala AS. Lagu rap Prancis kebanyakan menyinggung masalah sosial dan identitas.

Rap secara harfiah berarti berbicara cepat, kasar, dan keras (to rap / parler sèchement). Bahkan ada pula yang menyebutnya sebagai singkatan dari rhytme et poem. Bagi para imigran di banlieue, musik rap dianggap mewakili mereka yang penuh dengan semangat menggebu-gebu untuk mengkritisi keadaan di sekitarnya.

Cyril Trimaille, dalam artikelnya Rap Francais, Humour et Identite(s), mengatakan bahwa rap menawarkan model sosialisasi dan jalur profesional alternatif yang dapat membuat pelakunya keluar dari “kekacauan”. Lagu rap menawarkan model identifikasi positif terhadap anak-anak muda yang biasanya selalu digambarkan dalam stereotip negatif sebagai kelas buruh atau “pengacau” (Dian Kartini Lasman dalam Representasi Identitas Kaum  Muda Imigran Prancis dalam Lagu-Lagu Rap Karya Rohff) .

Nah, kira-kira, seperti itulah gambaran singkat dari musik rap Prancis. Ingin tahu seperti apa contoh musik rap Prancis? Nantikan artikel terbaru dari kamu, ya! À bientot!

Sabtu, 20 Juli 2013

Banlieue, Qu'est-ce que c'est?


Salut!

Sudah tahu kan bahwa tahun ini, Festi France kembali hadir dengan tema La Culture Qui Vient de Banlieue dan mengangkat seputar cerita dan sketsa dari daerah pinggiran Prancis? Bila mendengar kata "pinggiran", pikiran kalian pasti akan langsung melayang pada sebuah daerah yang kumuh, dengan tingkat kejahatan tinggi dan keruwetan kota yang lebih menyebalkan dibanding Jakarta pada Jumat sore.

Seperti yang telah disinggung dalam artikel sebelumnya, banlieue bukanlah sekedar cerita mengenai diskriminasi dan sisi gelap negara Prancis. Nah, artikel singkat ini akan menjelaskan mengenai apa itu banlieue dan serba-serbi dari banlieue itu sendiri. Percayalah, bila dilihat dari sisi yang berbeda, banlieue juga tak kalah  cerita dibanding La Ville Lumiere :').

Pada abad ke-19, Prancis menerima kedatangan imigran secara besar-besaran, akibat perkembangan industri. Pasca PD II, Prancis mencoba memulihkan diri dan kembali menerima gelombang besar imigran, terutama dari Afrika. Pada saat itu pula Prancis mulai mengalami masa kejayaan  selama 30 tahun, yang biasa disebut Les Trente Glorieuses.




Lama kelamaan, imigran menjadi sebuah masalah yang cukup pelik bagi pemerintah, terlebih dengan adanya krisis minyak tahun 1974. Pemecatan pekerja terjadi di banyak tempat, dan tentunya para imigran, yang sebagian besar adalah tenaga kerja tak terdidik, yang menjadi korban. Presiden Prancis kala itu, Valery Giscard membatasi jumlah imigran yang ada, sehingga pada tahun-tahun tersebut, jumlah imigran yang masuk di Prancis tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, kebanyakan imigran merupakan keluarga dari imigran yang telah tinggal di Prancis sebelumnya (regroupement familial)




Kota-kota besar yang sudah dipadati penduduk tak mampu lagi menampung imigranyang terus bertambah. Pemerintah pun berinisiatif untuk membuat pemukiman penduduk di pinggiran kota, yang lebih murah dibandingkan pemukiman di tengah kota. Para imigran yang tak memiliki pendapatan besar tentunya memilih untuk tinggal di sana. Disinilah dimulai beberapa masalah terkait dengan daerah pinggiran kota di Prancis (bidonville, daerah kumuh), seperti masalah kriminal dan kenakalan remaja yang berakar dari permasalahan ekonomi, juga masalah sanitasi dan kebersihan.

Permasalahan pemukiman ini pun cukup menyita pikiran pemerintah di Prancis, sehingga mereka memutuskan untuk mendirikan HVS (Habitat et Vie Sociale) pada tahun 1973, yang melahirkan sebuah hasil yang bernama HLM (Habitation à loyer modére), yakni hunian dengan sewa ringan, bebas pajak, dan tentunya dapat dicicil.

Ternyata, hal ini tidak juga menyelesaikan masalahyang terjadi di bidonville. Pada 1976, bidonville dihancurkan, diganti dengan les cites de transit atau kota perpindahan. Usaha pemerintah untuk memperbaiki daerah pinggiran tak hanya berhenti disitu. Pada tahun 1977, pemerintah meluncurkan rencana pembangunan banlieue. Banlieue inilah yang hingga kini identik dengan daerah-daerah pinggiran kota besar Prancis, daerah-daerah yang kebanyakan diisi oleh para imigran (ban: tertinggal, lieu: tempat)




Anak-anak imigran tumbuh besar, kebanyakan merupakan generasi kedua ataupun ketiga yang sedari lahir sudah tinggal di Prancis, dan lebih mengenal diri mereka sebagai orang Prancis. Namun, mereka tetap tidak bisa melepaskan identitas tanah leluhur mereka akibat stereotip dan budaya asal yang masih dipegang para orang tua. Konflik identitas semacam inilah yang kemudian menghasilkan budaya unik di antara mereka, seperti grafiti, musik rap dan rai, serta gaya berbicara dan juga bertingkah laku yang khas. Selain sebagai sarana hiburan dan eksistensi diri, hal tersebut juga digunakan sebagai media untuk bersuara dan menyalurkan aspirasi mereka. Budaya tersebut kemudian dikenal luas oleh masyarakat Prancis, memberikan warna baru dalam dunia multikultural Prancis.


Nah, ingin tahu lebih dekat tentang produk budaya tersebut? Soyez calmes, et n'oubliez pas de venir à FestiFrance 2013!